Manifesto Hantam Kultur Berhala
Hari sudah sepi ketika lelaki itu keluar dengan sebilah kapak, menuju tempat sesembahan. Ia mengejek tuhan, ”Kenapa kau tak makan makanan lezat yang disajikan bagimu? Bicaralah, dan jawab kata-kataku.”
Tak hanya mengejek, lelaki itu juga melabrak bongkahan-bongkahan batu itu. Menendang, bahkan memenggal leher-leher mereka, kecuali satu patung bertubuh bongsor di sebelah sana dibiarkannya utuh. Lalu ia kalungkan kapak di lehernya.
”Ibrahim!”, salah seorang Hakim menunjuk geram di ruang persidangan, ”Kau yang menghancurkan tuhan-tuhan kami?”
Ibrahim bagai di atas angin, ”Ah, pak Hakim, yang benar saja. Coba Anda tanya patung besar itu. Kan dia yang membawa kapak.”
Sang Hakim berkerut, lalu ia mendesah, ”Hhh, Ibrahim, Kau kan tahu, patung itu tidak bisa apa-apa. Bagaimana mungkin aku bertanya kepadanya. Ah dasar, Kau ini ada-ada saja.”
Maka berkatalah Ibrahim, ”Jika demikian halnya, mengapa kau sembah patung-patung itu, yang tidak dapat berkata, tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar, tidak dapat membawa manfaat atau menolak mudharat, bahkan tidak dapat menolong dirinya dari kehancuran dan kebinasaan. Betapa bodohnya engkau dengan kepercayaan dan persembahanmu itu. Tidakkah kau berfikir dengan akal yang sehat bahwa persembahanmu adalah perbuatan yang keliru yang hanya bisa dipahami oleh setan. Mengapa kau tidak menyembah Tuhan yang menciptakan kamu, menciptakan alam sekelilingmu dan menguasakan kamu di atas bumi dengan segala isi dan kekayaan. Alangkah hinanya kamu dengan persembahanmu itu.”
***
KISAH di atas kiranya sudah kita dengar saat duduk manis di bangku SD dulu. Ya, kisah Nabi Ibrahim a.s. beserta para penyembah berhala. Mereka itu lugu, menyembah kepada apa yang mereka sadari tak berdaya apa-apa, sehingga ketika ”digoda” oleh Nabi Ibrahim, jawaban mereka tampak seperti dagelan saja.
Nah, tulisan ini tidak hendak mengangkat kembali cerita-cerita tentang patung berhala. Karena saya tahu, Anda sudah tidak berselera makan bangku SD lagi. Maka kali ini insya Allah kita akan berbicara kepada wilayah yang lebih luas: Kultur Berhala, yang kemudian kita mengenalnya dengan istilah: Thaghut.
Hei, tidak berminatkah Anda tentang kiprah dan legenda thaghut?
Jangan begitu! Kali ini wajib tertarik. Jangan dikira thaghut hanya berupa sebongkah batu seperti halnya pada masa Nabi Ibrahim, atau berupa cagak-cagak pohon leluhur Dinamisme, sepetak kuburan tempat mencari ’wangsit’, serta sesosok dukun penyembur mantra dan pembual ramal! Tidak, tidak sebatas itu.
Sedikitnya ada lima pelaku biang thaghut yang tersebut dalam Risalah Ma’na Thaghut wa Ruusu Anwaa’ihi oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Namun jika disederhanakan, maka bisa dikelompokkan menjadi tiga komplotan: Pertama, Thaghut ibadah [QS. Az-Zumar: 17]. Kedua, Thaghut hukum [QS. An-Nisaa’: 60]. Dan ketiga, Thaghut ketaatan dan kemengikutan (tha’ah wal mutaba’ah) [QS. Ali Imran: 32]. Nah, tiga komplotan thaghut itu persis seperti yang dikatakan oleh Syaikh Sulaiman bin Salman An-Najdi dalam Ad-Durar As-Saniyah. (Lihat, Imam S, Sekuntum Rosela Pelipur Lara, 77-101).
Ingatlah! Lekat dan sematkan dalam sel-sel otak Anda: Thaghut ibadah, thaghut hukum, dan thaghut ketaatan-kemengikutan.
Lantas, apa itu thaghut? Mari bertanya kepada Ibnu Katsir. Beliau Rahimahullah menukil dari Umar bin Khatthab r.a bahwa thaghut adalah syetan. Adalah syetan, katanya. Kuat sekali, karena syetan itu meliputi segala keburukan, dimana kaum jahiliyah berada di atasnya, mereka mengibadahi berhala-berhala, berhukum kepadanya, dan memohon pertolongan dengannya. (Lihat, Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-’Adhim, 1/311).
Bukan tidak mungkin ’guyonan’ semacam umat Nabi Ibrahim kini telah terulang kembali. Meski dengan model, warna, serta rasa yang berbeda. Karena jika pada masa Nabi Ibrahim umumnya yang tampak adalah thaghut ibadah, maka boleh jadi saat ini bergelombang dan berduyun-duyun manusia secara sadar atau tidak telah terjerembab dalam thaghut hukum, serta thaghut ketaatan dan kemengikutan pula.
Manusia sekarang mungkin tak kalah lugu. Jika si Hakim pada masa Nabi Ibrahim merasa tergagap ketika menyadari bahwa tidak mungkin ia berbicara dengan patung yang ia sembah, maka manusia kini tidak kalah aneh. Aneh karena tak jarang ketika orang-orang piawai melontarkan deretan dalil, namun ketika dihadapkan dengan tatanan hukum, yang keluar justru rentetan dalih!
Lugu! Ketika berdiri di mimbar khotbah tidak sedikit yang menghimbau kembali kepada syariat, namun ketika berdiri di mimbar upacara pada gilirannya menyuruh berpegang pada undang-undang ’cap londo’, karena ini bukan negara syariat!
Sindiran yang sering saya dengar adalah berupa pernyataan, ”Mbok ya kita itu sadar, kita hidup dimana. Lha wong kita tidak hidup di Arab.” Nah, saya tidak tahu, orang model begitu itu jika ditempatkan di pedalaman Papua apakah ia bersedia juga pakai koteka. Terus terang, saya sendiri tidak mau, sekalipun ditawari untuk menjabat sebagai kepala suku.
Sedangkan pernyataan bahwa Arab merupakan konotasi dari Islam, adalah jelas-jelas salah kaprah! Karena nyatanya orang-orang Arab juga banyak yang ’Arapati-nggenah’!
Renungkanlah! Anda punya kepala, Anda punya helm. Jika ternyata helm tidak sesuai dengan ukuran kepala, lantas apa yang harus dirombak untuk disesuaikan? Helm, ataukah kepala?
Pikirkanlah! Anda diturunkan petunjuk (Syari’at), Anda diberikan dunia. Jika ternyata dunia tidak sesuai dengan petunjuk, lantas apa yang harus dirombak untuk disesuaikan? Petunjuk, ataukah dunia?
Perhatikanlah!
“Al Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini.” [QS. Al-Jaatsiyah: 20]
“Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” [An-Naml: 77]
Kenapa Allah menurunkan Al-Qur’an?
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” [QS. An-Nahl: 64].
Bagaimana? Anda masih ragu? Baiklah, baiklah. Lihat Ayat ini:
“Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” [QS. Al-Baqarah: 2]
Masih kurang apa? Hh, sudahlah, sudah. Terserah Anda. Saya tidak ingin memaksa-maksa. Hanya saja, kalau kita memang meyakini adanya Allah, mengimani ke-Maha benaran Allah, lalu apakah layak kita memilih dan mempertahankan sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak Allah.
Kawan, ingatlah bahwa dunia kini masih dalam durjana. Hingga ketika saudara kita bertangis darah tak sepenuhnya kita bisa membantu mereka. Kita terlalu lemah, karena berada dalam aturan setan yang lemah. Sementara Allah menghendaki kita untuk kuat, serta memfasilitasi kita untuk menjadi umat yang kuat. Maka betapapun itu, mari tata niat kita, lalu ikrarkan sepenuh jiwa, mari berangkat bersama, dan kita hantam kultur berhala!! Salam metal satu jari! [Ahsan Hakim]