Mewaspadai Kebangkitan Generasi Nurnaningsih!
Siapa itu Nurnaningsih? Kok ada istilah Nurnaningsih dan Generasi Nurnaningsih segala? Mungkin bagi sebagian kawan-kawan, nama Nurnaningsih memang tidak terlalu dikenal dan terdengar asing di telinga kita. Padahal pada tahun-tahun 1950-1970an, nama Nurnaningsih adalah nama yang sangat populer di kalangan jagad hiburan dan perfilman tanah air, Indonesia. Nurnaningsih adalah seorang bintang film terkenal pada era-nya yang memiliki banyak penggemar. Ketenarannya mungkin seperti nama Dian Sastro yang sukses membintangi film Ada Apa Dengan Cinta saat ini.
Namun, bukan itu yang membuat Nurnaningsih (selanjutnya disebut Nur) terkenal dan menjadi topik pembicaraanku saat ini. Nurnaningsih menjadi sangat terkenal dan dikenal saat ia membuat kontroversi dengan berani beradegan setengah bugil pada sebuah film yang berjudul Harimai Tjampa. Akibat adegannya, film itu sempat menimbulkan kehebohan di masyarakat umum pada tahun 1950an. Ia menjadi bintang film Indonesia pertama yang BERANI beradegan setengah bugil, sesuatu yang sama sekali belum pernah dilakukan bintang lain dan dalam film-film pendahulunya. Sejak saat itu, ia menjadi pionir, simbol, dan pemuka bintang ‘panas’ Indonesia (baca: Artis Bom Sex).
Saking terkenalnya, ia memiliki banyak penggemar dan pengidola yang tidak sedikit. Namun, tak sedikit diantara penggemarnya yang kemudian menulis dan mengungkapkan keprihatinan atas ‘kemajuan’ Nur dalam akting. Hingga dalam sebuah majalah, ada seorang penggemar yang mengirimkan surat terbuka melalui surat pembaca di majalah tersebut. Seorang penggemar menulis surat pembaca yang dimuat di majalah Kencana edisi No. II Tahun 1954 halaman delapan yang memuat pernyataan keprihatinan seorang penggemar aktris film layar lebar Nurnaningsih (RIP).
Surat pembaca itu adalah buntut dari lontaran kontroversial icon bintang panas Indonesia era 50-an ini yang menyatakan: “Saya tidak akan memerosotkan kesenian, melainkan hendak melenyapkan pandangan-pandangan kolot yang masih terdapat dalam kesenian Indonesia.”
Isi surat selengkapnya,
Sdr. Nurnaningsih Yth,
Sdr. tak dapat mencampuradukan kesenian Indonesia dengan kesenian Barat. Tak dapat saudari perjuangkan orang yang sedang menari serimpi, pakaiannya saudari tukar dengan pakaian penari balet, juga tak dapat saudari iringi dengan musik Jazz. Begitu juga sebaliknya orang yang sedang berdansa tak dapat saudari tukar musiknya dengan gamelan. Tak ubahnya seperti yang saya katakan di atas itulah saudari memperjuangkan apa yang saudari kehendaki itu.
Achirul kalam saya anjurkan kepada saudari bahwa perjuangan saudari yang sedemikian itu menurut keyakinan saya akan menjatuhkan kepopuleran saudari sebagai bintang film. Saya berdo’a moga-moga saudari insyaf pada apa yang telah saudari perjuangkan itu, sehingga mengakibatkan kegemparan masyarakat.
Sayangilah kepopuleran saudari yang kian hari kian meningkat. Pertahankanlah, serta berjuanglah untuk menjadi bintang film Indonesia yang gilang gemilang, seniwati Indonesia yang tulen dan menjadi kebangaan bangsa Indonesia di dalam dan di luar negeri. Mudah-mudahan saudari tetap gilang-gemilang sampai hari tua.
Sekian.
Awal mula terjun ke dunia layar lebar, Nur sebenarnya boleh dibilang sangat beruntung karena ia langsung “digarap” oleh sutradara legendaris Indonesia Usmar Ismail lewat film Krisis dan berikutnya dalam film Harimau Tjampa (1954). Namun setelah adegan kontroversinya dalam Harimau Tjampa, ia pun seolah merasa lebih tertantang untuk menunjukkan sejumlah arogansinya. Ia pun bermain dalam sejumlah film panas sementara foto-foto seronoknya menghiasi sejumlah majalah Ibu Kota.
Nur boleh dibilang tidak semata-mata bintang film biasa. Melalui ketenarannya, ia berani mengungkapkan pendapat-pendapat liberalnya yang kontroversial sehingga ia juga menjadi seorang tokoh liberal pada saat itu. Nurnaningsih juga sempat membuat gempar peta perfilman ketika dengan sangat berani berpose telanjang dalam sejumlah film, termasuk foto bugilnya yang tersebar di masyarakat. Akibat ‘aksi-nya’ tersebut, tang tanggung-tanggung, Kejaksaan Agung dan Polri pun dibuat kelabakan saat itu.
Sejumlah pengamat film pada saat itu dengan nada sinis menilai Nurnaningsih sebenarnya hanya beruntung dapat lakon dalam film-film garapan Usmar Ismail. “Padahal aktingnya sangat jelek,“ demikian komentar seorang pengamat film di majalah Kencana. Konon, cuma kemujuranlah yang membawa Nurnaningsih bisa bermain dalam Krisis.
Setelah menanamkan fondasi liberal dan tema ‘panas’ yang cukup kuat dalam perfilman Indonesia, tongkat estafet Nur pun selanjutnya diserahkan dan dilanjutkan oleh Rahayu Efendi. Simbol ‘bintang panas’ pun mulai beralih kepada Rahayu. Dalam Tante Girang (1974), Rahayu konon berbugil ria dan beradu akting dengan aktor gagah pada zamannya, Dicky Soeprapto. Melalui tangan dingin Rahayu dan proses kaderisasi yang intens, muncullah kader-kader pewaris misi ‘film panas’ dan artis-artis Bom Sex yang lebih banyak macam Yeni Rachman, Suzanna, Lina Budiarti, Yati Octavia, Eva Arnaz, Ayu Lestari, Meriam Bellina, Yurike Prastica, Ayu Azhari, Sally Marcelina, Ayu Yohana, Yeni Farida, Kiki Fatmala, Gitti Srinita, Malvin Syahna, Liza Chaniago, Inneke Koesherawati dan lain-lainnya.
Pada generasi inilah, perkembangan perfilman nasional Indonesia hampir dipenuhi dan ditaburi BIN[a]TANG FILM yang benar-benar mengeksploitasi fisik dan cita rasa rendah (low taste), yang menjadi idola sekaligus bahan caci-maki. Terakhir, Inneke dan Eva Arnaz telah tobat dan kini mengenakan pakaian muslimah. Sementara sebagian lainnya mengalami kepudaran popularitas. Ada yang tak jelas rimbanya tetapi ada juga yang “bertobat” dan beralih menjalani profesi menjadi aktris sinetron.
Sempat mengalami kevakuman karena keberhasilan sineas-sineas muda yang mulai banyak membuat film-film berkualitas dari mulai Cinta dalam Sepotong Roti (Garin Nugroho), Bulan Tertusuk Ilalang (Garin Nugroho), Sherina (Riri Riza), Pasir Berbisik (Nan T. Achnas), Ca Bau Khan (Nia diNata), Ada Apa dengan Cinta (Rudi Sudjarwo), Jelangkung (Rizal Mantovani dan Jose Purnomo), Bendera (Nan T. Achnas), Eliana, Eliana (Riri Riza), Arisan (Nia Dinata), Mengejar Matahari, Kiamat Sudah Dekat, Jomblo, Andai Ia Tahu, Biarkan Bintang Menari, Banyu Biru (Teddy Soeriaatmadja) dll, justru makin memotivasi generasi-generasi penerus perjuangan film ‘esek-esek’ dan ‘panas’ pewaris ide Nurnaningsih untuk tampil.
Muncullah film-film komedi-komedi / horor berbau sex (atau justru sebalinya: film sex berbau komedi / horor) macam Perjaka Terakhir, Air Terjun Pengantin, Hantu Puncak Datang Bulan, Kawin Kontrak, Hantu Aborsi, Anda Puas, Saya Loyo, Suster Keramas, Arisan Brondong, Darah Janda Kolong Wewe, Ku Tunggu Jandamu, Mau Dong Ah, dll. Kini, invisible hands pewaris generasi Nurnaningsih dan Rahayu Efendi mulai tampil dan dalam proses kaderisasi. Karena belum mampu menemukan satu sosok tokoh yang layak dijadikan simbol bintang Bom Sex macam Nurnaningsih atau Rahayu Efendi, sebuah rumah produksi yang menjadi pusat pembibitan dan kaderisasi calon-calon artis Bom Sex, Maxima Pictures, pun terpaksa mengimpor dua orang bintang film porno yang telah menjadi simbol artis Bom Sex internasional macam Rin Sakuragi dan Miyabi. Kini, setelah sukses mengimpor kedua bintang porno itu, Indonesia sedang ‘menantikan’ kelahiran simbol baru sosok artis Bom Sex pewaris generasi Nurnaningsih dan Rahayu Efendi. :(
Sepertinya, generasi Nurnaningsih mulai menggeliat dan bangkit kembali… :(
na’udzubillahi min dzalik.
Andalah yang menentukan, jika anda mendukung maka generasi itu akan segera lahir, namun jika anda tidak mendukung insya Allah generasi itu akan terkubur!
Sumber : http://ahmedfikreatif.wordpress.com/2010/05/11/mewaspadai-kebangkitan-generasi-nurnaningsih/